Kamis, 17 April 2014

MAMALIA ENDEMIK INDONESIA : Anoa Pegunungan Sulawesi


Anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) sering dikenal masyarakat asing sebagai Mountain Anoa, Anoa de montagne, Anoa de Quarle, Berganoa, dan Anoa de montaƱa. Dalam bahasa latin anoa pegunungan disebut Bubalus quarlesi.

CIRI CIRI FISIK ANOA PEGUNUNGAN
Anoa pegunungan mempunyai ukuran tubuh yang lebih ramping dibandingkan anoa datarn rendah. Panjang tubuhnya sekitar 122-153 cm dengan tinggi sekitar 75 cm. Panjang tanduk anoa pegunungan sekitar 27 cm dengan berat tubuh dewasa sekitar 150 kg. Anoa pegunungan berusia antara 20-25 tahun yang matang secara seksual saat berusia 2-3 tahun. Seperti anoa dataran rendah, anoa ini hanya melahirkan satu bayi dalam setiap masa kehamilan yang berkisar 9-10 bulan. Anak anoa akan mengikuti induknya hingga berusia dewasa meskipun telah disapih saat umur 9-10 bulan. Sehingga tidak jarang satu induk terlihat bersama dengan 2 anak anoa yang berbeda usia.

HABITAT
Anoa pegunungan berhabitat di hutan dataran tinggi hingga mencapai ketinggian 3000 mdpl meskipun terkadang anoa jenis ini terlihat turun ke pantai untuk mencari garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolismenya.
Anoa pegunungan cenderung lebih aktif pada pagi hari, dan beristirahat saat tengah hari. Anoa sering berlindung di bawah pohon-pohon besar, di bawah batu menjorok, dan dalam ruang di bawah akar pohon atau berkubang di lumpur dan kolam. Tanduk anoa digunakan untuk menyibak semak-semak atau menggali tanah Benjolan permukaan depan tanduk digunakan untuk menunjukkan dominasi, sedangkan pada saat perkelahian, bagian ujung yang tajam menusuk ke atas digunakan dalam upaya untuk melukai lawan. Ketika bersemangat, anoa pegunungan mengeluarkan suara “moo”.
Pondok Satwa Conservasion / By PoWa Crew

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kunjungi Pondok Satwa On Twitter :)

BREAKING NEWS : Data terbaru kementrian kehutanan terkait biosfer pulau sumatera menyakinkan bahwa 80% ekosistemnya rusak dikarenakan banyak hutan dijarah, penebangan liar makin menjadi, dan batas wilayah konservasi tidak diakui. Degradasi ekosistem ini terjadi tidak hanya karena lemahnya penegakan hukum namun juga akibat kurang dipahaminya maksud dan tujuan pembangunan jangka panjang dan fungsi dari cagar biosfer. Peningkatan pemahaman dan kepedulian diperlukan baik bagi masyarakat tradisional yang hidup di sekitar dan di dalam hutan dan ekosistem lain maupun masyarakat moderen yang bermukim di perkotaan